PERTEMUAN JANG TAK DISANGKA-SANGKA
Karya:Nursjamsu
Sejak kedjadian diatas ini Totoi tak mau lagi bermain-main
dengan Usmono. Dan karena anak-anak lain takut pada Totoi, mereka itupun
mengelak-elakan Usmono pula. Demikianlah ia diwaktu bermain hanja duduk-duduk
sendiri tak ikut bermain-main. Kadang-kadang ikut juga ia bermain dengan
murid-murid kelas rendah. Tak lama kemudian tak ada pula nafsunja lagi untuk
bermain dengan anak-anak jang lebih ketjil dari dia itu, karena bila ia sedang
bermain-main selalu didengarnja tertawa dan edjekan dibelakangnja dari Totoi
dan golongannja.
“Lihatlah radja anak-anak ketjil itu.”
“Tentu adja ia menang terus, lawannja tjuma anak-anak
ketjil.”
“Radja anak-anak ketjil! Radja anak-anak ketjil! Ia tak laku
oleh kita!”
Demikianlah selalu terdengar dibekangnja. Kalau ia menoleh
hendakmelawan penggoda-penggodanja itu, merekapun pura-pura tak melihat Usmono.
Mereka pura-pura bukan menggoda Usmono, tetapi mereka pura-pura goda-menggoda
sama-sama mereka.
Kadang-kadang Usmono rasanja mau memukul mereka kiri
kanan,karena djengkel. Kadang-kadang mau ia menangis rasanja, karena sedih
melihat kelakuan Totoi jang selalu disajanginja itu.
Lama-kelamaan gurupun tahu djuga akan keadaan ini. Tetapi ia
belum mau mentjampuri soal nak-anak sama anak-anak itu. Sungguhpun begitu
diperhatikannja djuga kedjadian itu, supaja dapat bertindak bila perlu.
Tetapi orang tua Usmono tak tahu menahu tentang itu. Waktu
dokter Mukadi bertanja mengapa Totoi tak pernah lagi dating bermain-main.
Usmono mendjawab: “Ahbarangkali ia banjak kerdja, atau harus menolong orang
tuanja, ajah.” Mendengar itu dokter Mukadi tak bertanja-tanja lagi.
Djadi Usmono terpaksa bermain seorang diri sadja dirumah.
Selalu bermain sendiri, lama kelamaan ia merasa bosan pula. Tetapi Usmono tak
pernah mengeluh. Kalau ajahnja dipanggil mengobati orang sakit. Usmono ikut
dengan ajahnja.
Pada suatu sore ia sedang bermain lajang-lajang. Tetapi
lajang-lajangnja itu tak mau naik. Kesal hatinja!
Tiba-tiba dilihatnja ajahnja pergi kekandang mobil sambal
mendjindjing tas obatnja.
“Pergi kemana ajah?” seru Usmono.
“Ke Petojdo. Ada orang sakit disana,” djawab ajahnja.
“Aku ikut, jah?” Tanya Usmono pula.
“Ajohlah. Tapi beritahu ibumu dulu. Kalau tidak nanti
ditjari-tjarinja kau,” kata dokter Mukadi.
Usmono lari sebentar kedalam rumah, memberitahukan kepada
ibunja, bahwa ia ikut dengan ajahnja. Ia lalu lompat kedalam mobil dan duduk
disebelah ajahnja; ajahnja memegang setir sendiri.
Merekapun berangkatlah menudju kearah Petodjo. Rumah orang
sakit jang harus diperiksa dokter Mukadi itu ialah di Petodjo, di Kampung
Djagamonjet.
Setelah sampai disana, dokter Mukadipun keluarlah dari mobil
membawa tas obatnja, lalu masuk kedalam rumah itu. Usmono tinggal menunggu
didalam mobil. Ia bersandar, duduk bermalas-malasan, melihat-lihat keluar.
“Eeh,” pikiran tiba-tiba. “Serasa kenal aku sekitar sini.”
Sambil menggaruk-garuk kepalanja, diperhatikannja lebih baik sekitar itu.
“Djalan jang sempit ini kukenal,” ia berkata pada dirinja. “Rumah jang
berbatang magga itu aku kenal pula. Telah pernah aku menjolong mangga muda dari
sana. Dan got ini,” katanja lebih landjut, sambil menarik-narik hidungnja,
karena bau selokan jang busuk itu, selalu tergenang airnja. Dan itu disana, ada
warung ketjil, tempat anak-anak biasanja sibuk membeli petjel, nasi aduk dan
pisang goring. Dan... Jang
mendjualnja… seorang perempuanjang masih
muda… montok… suka tertawa… dan jang menolongnja… anaknja… aku.”
Dengan tak diketahuinja, Usmono sudah keluar dari dalam
mobil. Sebagi orang bermimpi ia berdjalan perlahan-lahan kearah warung itu.
Dilihatnja memang banjak anak-anak sedang membeli djadjan-djadjanan disana.
Siapakah perempuan jang berdjualan itu…? Mukanja sedih
tampaknja.
“Ah, salah aku,: piker Usmono.
Usmono menantang wadja perempuan itu. Dan entah terasa oleh
perempuan itu ada mata orang menatap kepadanja, iapun melihat pada Usmono.
Keduanjapun pandang-memandang, tatap-manatap mata.
Tiba-tiba berkilat beberapa ingatan dalam pikiran Usmono.
“Aku dahulu biasanja menolong ibuku berdjualan! Kalau begitu…” Usmono terdiam.
Diperhatikannja perempuan itu sungguh-sungguh. “Ah, tak mungkin,” piker nja.
Perempuan itu bukan ibuku. Ibuku masih muda. Dan perempuan ini sudah tua. Tapi…
memang serupa… tapi….”
Demikianlah Usmono berdiri berpikir-pikir, dan
menggaruk-garuk kepalanja.
Tiba-tiba ia terkedjut.
“Usmono, anakku,” djerit perempuan itu.
Mendengar suara itu Usmono mendapat pikiran jang pasti.
“Ibu… Ibu…” serunja kembali lalu ia lari menudju ibunja itu.
Tetapi belum sampai ia kesana, ibunjapun rebahlah ketanah tak sadarkan diri
lagi.
Daftar Rujukan:
Nursjamsu. 1972. Usmono Membela Ibu. Djakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar