Selasa, 18 Desember 2012

Puisi: Dalam Satu Putaran

Dalam Satu Putaran

Dalam satu putaran
Aku berjalan di tengah alas hutan
Dalam satu arus
Aku berjalan di padang tandus
Dalam suatu keramaian
Aku berjalan dan berpakaian
Dalam satu putaran
Aku berdiri di ujung tanduk
Dalam satu arus
Aku berdiri di atas angin
Dalam suatu keramaian
Aku berdiri dan bicara dalam hati
Dalam satu putaran
Aku berjalan tanpa berjalan
Dan dalam satu putaran
Aku berdiri tanpa berdiri


#12.12.12

Jumat, 07 Desember 2012

Puisi di Bulan Desember: "Cangkir"

Kumpulan "Cangkir":

Beranjak dari Chocholate Coffe
...
Aku Suka Cappucino
dan Aku Benci Bread Ice Cream

Ada Gula di Kopiku
Aku Lari Masuk Kulkas
Dan Bersembunyi di Dalam Whipped Creamer
....
Sepiring Banana Cheese
-dan-
Secangkir Hati untuk Penghuni Café
-dengan-
Satu Seduh Rasa

Expresso Coffe, Aku Benci
-untuk-
Satu Cangkir dan Satu Lambaran Saja.

 
#Judul-Judul (Desember 2012)
#jangan lupa tunggu isi dan ceritanya (isi dan cerita hanya fiktif).

Cerpen: PERTEMUAN YANG TAK DISANGKA-SANGKA karya Nursjamsu

PERTEMUAN JANG TAK DISANGKA-SANGKA
Karya:Nursjamsu

Sejak kedjadian diatas ini Totoi tak mau lagi bermain-main dengan Usmono. Dan karena anak-anak lain takut pada Totoi, mereka itupun mengelak-elakan Usmono pula. Demikianlah ia diwaktu bermain hanja duduk-duduk sendiri tak ikut bermain-main. Kadang-kadang ikut juga ia bermain dengan murid-murid kelas rendah. Tak lama kemudian tak ada pula nafsunja lagi untuk bermain dengan anak-anak jang lebih ketjil dari dia itu, karena bila ia sedang bermain-main selalu didengarnja tertawa dan edjekan dibelakangnja dari Totoi dan golongannja.
“Lihatlah radja anak-anak ketjil itu.”
“Tentu adja ia menang terus, lawannja tjuma anak-anak ketjil.”
“Radja anak-anak ketjil! Radja anak-anak ketjil! Ia tak laku oleh kita!”
Demikianlah selalu terdengar dibekangnja. Kalau ia menoleh hendakmelawan penggoda-penggodanja itu, merekapun pura-pura tak melihat Usmono. Mereka pura-pura bukan menggoda Usmono, tetapi mereka pura-pura goda-menggoda sama-sama mereka.
Kadang-kadang Usmono rasanja mau memukul mereka kiri kanan,karena djengkel. Kadang-kadang mau ia menangis rasanja, karena sedih melihat kelakuan Totoi jang selalu disajanginja itu.
Lama-kelamaan gurupun tahu djuga akan keadaan ini. Tetapi ia belum mau mentjampuri soal nak-anak sama anak-anak itu. Sungguhpun begitu diperhatikannja djuga kedjadian itu, supaja dapat bertindak bila perlu.
Tetapi orang tua Usmono tak tahu menahu tentang itu. Waktu dokter Mukadi bertanja mengapa Totoi tak pernah lagi dating bermain-main. Usmono mendjawab: “Ahbarangkali ia banjak kerdja, atau harus menolong orang tuanja, ajah.” Mendengar itu dokter Mukadi tak bertanja-tanja lagi.
Djadi Usmono terpaksa bermain seorang diri sadja dirumah. Selalu bermain sendiri, lama kelamaan ia merasa bosan pula. Tetapi Usmono tak pernah mengeluh. Kalau ajahnja dipanggil mengobati orang sakit. Usmono ikut dengan ajahnja.
Pada suatu sore ia sedang bermain lajang-lajang. Tetapi lajang-lajangnja itu tak mau naik. Kesal hatinja!
Tiba-tiba dilihatnja ajahnja pergi kekandang mobil sambal mendjindjing tas obatnja.
“Pergi kemana ajah?” seru Usmono.
“Ke Petojdo. Ada orang sakit disana,” djawab ajahnja.
“Aku ikut, jah?” Tanya Usmono pula.
“Ajohlah. Tapi beritahu ibumu dulu. Kalau tidak nanti ditjari-tjarinja kau,” kata dokter Mukadi.
Usmono lari sebentar kedalam rumah, memberitahukan kepada ibunja, bahwa ia ikut dengan ajahnja. Ia lalu lompat kedalam mobil dan duduk disebelah ajahnja; ajahnja memegang setir sendiri.
Merekapun berangkatlah menudju kearah Petodjo. Rumah orang sakit jang harus diperiksa dokter Mukadi itu ialah di Petodjo, di Kampung Djagamonjet.
Setelah sampai disana, dokter Mukadipun keluarlah dari mobil membawa tas obatnja, lalu masuk kedalam rumah itu. Usmono tinggal menunggu didalam mobil. Ia bersandar, duduk bermalas-malasan, melihat-lihat keluar.
“Eeh,” pikiran tiba-tiba. “Serasa kenal aku sekitar sini.” Sambil menggaruk-garuk kepalanja, diperhatikannja lebih baik sekitar itu. “Djalan jang sempit ini kukenal,” ia berkata pada dirinja. “Rumah jang berbatang magga itu aku kenal pula. Telah pernah aku menjolong mangga muda dari sana. Dan got ini,” katanja lebih landjut, sambil menarik-narik hidungnja, karena bau selokan jang busuk itu, selalu tergenang airnja. Dan itu disana, ada warung ketjil, tempat anak-anak biasanja sibuk membeli petjel, nasi aduk dan pisang goring. Dan...  Jang mendjualnja…  seorang perempuanjang masih muda… montok… suka tertawa… dan jang menolongnja… anaknja… aku.”
Dengan tak diketahuinja, Usmono sudah keluar dari dalam mobil. Sebagi orang bermimpi ia berdjalan perlahan-lahan kearah warung itu. Dilihatnja memang banjak anak-anak sedang membeli djadjan-djadjanan disana.
Siapakah perempuan jang berdjualan itu…? Mukanja sedih tampaknja.
“Ah, salah aku,: piker Usmono.
Usmono menantang wadja perempuan itu. Dan entah terasa oleh perempuan itu ada mata orang menatap kepadanja, iapun melihat pada Usmono. Keduanjapun pandang-memandang, tatap-manatap mata.
Tiba-tiba berkilat beberapa ingatan dalam pikiran Usmono. “Aku dahulu biasanja menolong ibuku berdjualan! Kalau begitu…” Usmono terdiam. Diperhatikannja perempuan itu sungguh-sungguh. “Ah, tak mungkin,” piker nja. Perempuan itu bukan ibuku. Ibuku masih muda. Dan perempuan ini sudah tua. Tapi… memang serupa… tapi….”
Demikianlah Usmono berdiri berpikir-pikir, dan menggaruk-garuk kepalanja.
Tiba-tiba ia terkedjut.
“Usmono, anakku,” djerit perempuan itu.
Mendengar suara itu Usmono mendapat pikiran jang pasti.
“Ibu… Ibu…” serunja kembali lalu ia lari menudju ibunja itu. Tetapi belum sampai ia kesana, ibunjapun rebahlah ketanah tak sadarkan diri lagi.
Daftar Rujukan:
Nursjamsu. 1972. Usmono Membela Ibu. Djakarta: Balai Pustaka.

Cerpen: Kisah seorang Amir karya Ali Akbar Navis

Kisah seorang Amir
Karya: A.A. Navis
Di kampungku banyak benar orang yang bernama Amir. Entah apa sebabnya nama Amir itu sangat disukai orang pada suatu masa di kampungku itu. Mungkin karena terpeseona pada cerita, bahwa setiap raja di negeri Arab disebut Amir. Atau mungkin juga karena nama Amir lebih indah daripada nama Kundur, Godok, Binuak, Ulok atau Tonyok. Demikianlah pada suatu masa banyak benar orang yang bernama Amir  di kampungku. Karena sangat banyaknya nama Amir itu, timbullah kesulitan lain. Sebab bila orang bicara tentang seorang Amir, orang tidak akan segera tahu, Amir mana yang dimaksudkan. Tapi kesulitan itu lekas pula diatasi.
Kebetulan pula di kampungku itu, setiap orang yang bernama Amir punya keistimewaan masing-masing, menyolok atau tidak. Keistimewaan masing-masing itulah yang dijadikan nama tambahan untuk membedakan seorang Amir dengan Amir yang lain.
Jadi ada yang bernama Amir Mataloak, karena matanya besar, di samping ada Amir Sipit. Ada Amir CIna, karena wajahnya mirip Cina, di samping ada Amir Keling karena kulitnya hitam. Karena dua orang Amir yang hitam kulitnya, maka seorang lagi dipanggil Amir Tambi. Ada Amir Balok, karena badannya seperti balok, di samping ada Amir Rangkik, karena badannya kecil akibat sakit-sakitan. Ada Amir Kate. Seorang Amir yang kate lainnya tapi berkulit kuning dipanggilkan dengan Amir Jepang. Ada Amir PAnjang, meski yang sebenarnya orangnya tinggi. Mungkin karena di kampungku setiap orang sama tingginya dan sama pula rendahnya menurut ajaran dari pandangan hidup mereka, maka di samping tidak dipakaikan gelar tinggi, juga tidak dipakaikan gelar rendah. Untuk Amir yang rendah tubuhnya dipanggil dengan Amir Pendek. Di samping itu ada Amir Guru, karena ia memang guru. Ada Amir Gadis, tapi tidak ada Amir Bujang. Yang Amir Gadis dikarenakan oleh tingkah-lakunya keperempuanan. Lama-lama yang paling sering disenutkan orang ialah nama tambahan itu. Misalnya si Loak, si Sipit, si Keling, si Tambi, si Cina, si Jepang, si Kate, si Pendek, si Panjang, si Guru. Dan yang paling celaka ialah si Amir Gadis, dipanggilkan namanya si Gadis padahal ia laki-laki dan sudah dua orang istrinya, dan lima orang anaknya.
Tapi yang akan kuceritakan sekarang ialahtentang seorang Amir, yang lain dari Amir-Amir yang banyak itu, Ia bukanlah orang kampungku. Ia pindah dari suatu kota dan menyewa rumah di salahsatu jalam di kampungku. Ia seorang pegawai pemerintah,. Tapi ia lebih suka disebut amtenar, seperti term masa Belanda. Tubuhnya besar, matanya besar. Mulutnya besar dengan bibirnya laksana jeruk mawar yang terkelupas kulitnya. Perutnya pun besar dalam arti harfiah dan maknawiah, dalam kenyataan dan kiasan. Untuk orang kampungku memang ia dipandang sebagai orang besar. Bukan karena fisiknya, melainkan jabatannya yang amtenar.
Maka itu tidak adalah celanya apabila ia berkata di lepau kopi di simpang tiga kampungku, bahwa ia betul-betul dilahirkan sebagai orang istimewa.
“Aku memang dilahirkan sebagai orang istimewa. Ketika aku lahir, sudah ada tanda-tandanya, kata ibuku. Tapi baru nyata kelihatan keistimewaanku semenjak aku mulai dewasa. Sebab aku selalu menjadi pemimpin di dalam bentuk apap pun. Di kalangan orang muda, sampai kini aku tidak segan-segan bertingkah seperti anak muda pula. Di kalangan orang tua-tua, meski aku masih muda, aku pun mempunyai bakat pengasuh, pelindung, pengadil yang bijaksana. Aku bisa main gambus, bisa main keroncong, bisa nyanyi, bisa menari. Namun tuak pun aku biasa. Sehingga sebotol dua botol tuak yang kuminum, taklah akan memabukkanku. Aku juga bisa mengaji. Ayat-ayat dan hadis-hadis banyak yang aku hafal di kepalaku, dan fasih pengucapannya. Menjadi khatib dan imam waktu sembahyang Jumat, itu telah ibarat minum rokok bagiku, karena biasanya. Aku sebenarnya segala tahu. Apa yang tuan-tuan ketahui, aku tahu semua. Tapi apa-apa yang kuketahui, tuan-tuan tidak akan tahu kalau tidak aku beritahu. Dulu-dulunya aku pun pemain sepak bola juga. Malah aku pernah jadi kampium main badminton di pasar malam. Karena aku segala tahu, tidak pun akan jadi amtenar, aku akan bisa juga hidup senang, memperoleh nafkah seperti sebanyak sekarang. Sekurang-kurangnya, aku beri pengajaran agama di mesjid-mesjid, berkeliling dari suatu kota ke kota yang lain, akan kuperoleh juga nafkah yang lumayan. Tapi justeru karena aku segala tahu itulah sebabnya aku memilih jadi amtenar, tahu?”
Oleh karena ia terlalu sering mengatakan dirinya segala tahu itu, di mana saja asal ada kesempatan, maka orang kampungku menamakannya Amir Tahu.
Di kampungku ia lekas benar populer. Segala lapisan masyarakat digaulinya. Ketika ia mulai datang, ditemuinya ninik mamak dan segala penghulu yang ada di kampungku, sebagai memperkenalkan dirinya. Dan kepada Penghulu Tua dari suku Caniago, Datuk Perpatih, dimintanya supaya ia pandang sebagai anak-kemenakan orang suku Caniago pula. Sesuai ajaran adat: Terbang menumpu, hinggap mencekam. Bagai burung yang berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.
Kepada yang muda-muda diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan lepau kopi di simpang tiga itu, di mana orang-orang suka main domino, remi dan catur. Dan kepada orang tua-tua diperkenalkan dirinya dengan ikut berlama-lama di mesjid dari Magrib sampai Isya.
Orang kampungku menakar jabatan amtenar itu sangatlah tingginya. Maka itu ketika ia mula menetap di kampungku, berebutanlah berbagai macam perkumpulan kampungku mengajaknya agar ikut jadi pengurus, menjadi tiang perkumpulan. Ada perkumpulan kematian, ada perkumpulan simpan-pinjam, ada perkumpulan pencak silat, ada perkumpulan randai, perkumpulan musik, sepek bola dan juga badminton. Karena untuk menjadi anggota biasa saja tidaklah dipandang pantas bagi seorang amtenar. Baik oleh Amir sendiri, apalagi oleh penduduk. Itulah sebabnya ia diajak jadi pengurus, meski sebelumnya ia belum lagi jadi anggota.
“Tuan-tuan,” katanya pada setiap pengurus yang mengajaknya jadi anggota pengurus, “untuk menjadi salah seorang pengurus aku ini memang patut. Bahkan menjadi ketua pun aku lebih patut lagi. Akan tetapi mengingat jasa tuan-tuan, tentu saja aku tidak sepantasnya langsung menerima jabatan ketua itu, bukan? Aku memang seorang yang terbilang berpendidikan tinggi. Karena aku telah mengikuti berbagai kursus, seperti Inggeris, Belanda, Arab. Bahkan kursus dagang, ilmu ukur untuk jadi mantra opnemer. Karena itulah aku sudah sepatutnya menjadi ketua saja, bukan? Akan tetapi karena aku amtenar, lebih baik aku jangan diminta jadiketua, apalagi jadi anggota pengurus yang lebih rendah dari ketua. Mintalah aku menjadi penasihat saja. Minta secara resmi. Alamatkan suratnya ke kantorku. Soalnya, karena jabatan penasihat sangatlah tinggi. Bahkan lebih penting dari jabatan ketua. Oleh karena itu janganlah disepelekan.” Demikianlah katanya atau kira-kira yang akan dikatakannya bila berbagai anggota pengurus suatu perkumpulan kampungku mengajaknya jadi pengurus.
Kemudian semua perkumpulan yang ada di kampungku, bahkan di luar kampungku juga, mencantumkan namanya menjadi penasihat. Itu pun setelah dimajukan permohonan secara resmi ke alamat kantornya dan dijawab pula dengan rsmi kepada perkumpulan-perkumpulan tadi. Dan sebagai panasihat ia aktif sekali. Segala apa yang hendak dilakukan setiap perkumpulan kampungku, haruslah meminta nasihatnya lebih dahulu. Sebab kalau tidak, baik karna lupa atau karena menganggap tidak perlu sebab acaranya tidak penting, ia akan marah besar. Sepanjang hari ia akan bertura-tura dan membusuk-busukkan nama pengurus, kepada siapa saja dan di mana saja. 
“Aku sebagai amtenar yang telah diminta dengan cara resmi jadi penasihat , berhak diberitahu apa yang akan kalian lakukan. Meski pada soal-soal yang kecil sekali pun. Kalau aku katakana tidak baik, ya, tidak baik. Jangan lakukan. Tapi kalau aku katakana baik, ya baik, baru boleh dilakukan. Ingatlah aku ini amtenar,” katanya dalam bertura-tura itu.
Maka karena terlalu sering pula ia menyebut dirinya penasihat itu, namanya pun disebut Amir Penasihat, setelah Amir Tahu. Karena kata penasihat terlalu panjang bagi lidah umum, maka disebutkan saja namanya dengan Amir Sihat.
Rumah yang didiaminya du kampungku, ialah rumah sewa yang terbaik. Sesuai dengan martabatnya sebagai amtenar. Akan tetapi kabutuhannya pada rumah itu tidaklah mutlak benar nampakya. Barangkali ia hanya memerlukan sebuah kamar tidur saja dan sebuah kamar mandi. Sebab ia sendiri jarang ada di rumah. Pagi-pagi benar, jam enam kira-kira, ia telah keluar dari rumahnya. Mampir di lepau kopi simpang tiga sebelum pergi ke kantor. Kantornya tutup jam dua, tapi ia baru akan muncul di rumahnya apabila ia sudah ingin tidur.
Ketika ia mula datang di kampungku, sebelum ia pergi ke kantornya, ia mampir dulu di lepau kopi simpang tiga untuk sarapan pagi. Pada mulanya semua orang ingin dan senang mentraktirnya. Dan setiap orang yang sempat mentraktirnya dengan segelas kopi, sepiring ketan serta goring pisang, senantiasa akan merasa bahagia sekali. Sebab yang ditraktirnya bukan sembarang orang, melainkan seorang amtenar yang berkancing baju dari perak dan berinisial “W” pula, yatu inisial dari nama Wilhelmina, ratu kerajaan Belanda. Tapi setelah lama-kelamaan, setelah setiap orang telah pernah mentraktirnya ganti berganti, entah telah berapa kali masing-masingnya, rasa bahagia semua mulai berobah menjadi rasa tersiksa. Lalu orang mencoba dnegan liciknya membayari saja apa yang telah dimakannya, lalu pergi diam-diam. Akan tetapi Amir kita ini lambat maklum rupanya. Dan ketika ia mulai maklum, maka ia menunjuk saja seseorang yang terdekat duduknya untuk membayarkan apa yang disarapannya. Cuma segelas kopi, sepiring ketan, dan goring pisang. Setelah orang tahu betapa perangainya, orang-orang datang ke lepau itu lebih pagi lagi dan cepat-cepat pergi sebelum Amir datang. Hanya sehari dua hari Amir kita terkecoh. Maka selanjutnya ia datang lebih pagi lagi. tapi ketika semua orang sudah tahu, bahwa ia datang lebig pagi pula, maka orang-orang merobah waktunya. Mereka baru datang ke lepau setelah Amir berangkat ke kantornya. Tapi tak mudah mengecoh seorang amtenar  yang segala tahu itu. Karena demi ia tahu bahwa orang-orang muncul setelah ia berangkat ke kantor, maka ia akan meninggalkan pesan pada pemilik lepau, agar disampaikan kepada salah seorang untuk membayarkan sarapannya. Nampaknya ia tidak begitu perduli, apakah orang suka membayar atau tidak. Biasanya orang terus juga membayarkannya, meski dengan sunggut-sunggut. Akan tetapi kemudiannya ia jarang ke lepau kopi itu waktu pagi-pagi. Jam enam lewat sedikit ia telah berangkat ke kantornya tanpa mampir lagi lebih dahulu. Dan orang menduga tentu ada orang-orang di lepau lain yang akan digetahinya. Sejak itu, lepau kopi simpang tiga itu telah hidup seperti biasa lagi.
Aku tidak tahu persis di mana Amir makan siang dan makan malam. Orang kantornya pulang jam dua. Tapi ia tiba di rumahnya bila matanya sudah mengantuk. Kalau ia sidah pulang jam empat, maka jam lima sore ia telah pergi lagi. pulangnya setelah larut malam, setelah kedai-kedai tutup. Paling cepat ia pulang apabila bioskop telah usai pertunjukan yang pertamanya.
Setelah lama kehidupan di lepau koi simpang tiga itu tertib dan teratur seperti sediakala sebelum Amir pindah ke kampungku, kedaan pun teguncang lagi.  Amir kembali sering muncul lagi. tapi waktunya tidak teratur. Ada kalanya pagi-pagi benar, setelah orang selesai sembahyang subuh di mesjid. Ada kalanya sedikit siang, yaitu sebelum sebelum waktu kantor. Ada kalanya ia muncul sore, atau lewat senja atau pada waktu lepau hampir tutup dekat tengah malam. Dan siapa saja yang ada pada waktu itu, terkena getahlah dia dengan semangkok kopi dan sepiring ketan sama goreng pisang. Dan kalau lepau kopi telah tutup, ia akanberalih tempat ke pos ronda yang tidak begitu jauh letaknya.
Ia bukan sama sekali tidak disukai orang di kampungku. Ia pandai membuat lelucon hingga orang terpingkal-pingkal tertawa. Kalau ia bercerita, gerak-geraknya mengasyikkan. Melihat geak-geriknya saja orang takkan mungkin tidak ikut memperlihatkan giginya. Cerita-ceritanya tidak pernah jorok atau merendakan orang lain. Dan kadang-kadang ia menyuarakan sepotong nyanyian. Nyanyian yang sering didendangkan yaitu lagu Arab “Al-Afain”. Memang suaranya syahdu. Tapi guraunya datang bila hatinya senang. Hatinya senang kalau perutnya sudah kenyang. Soal isi perut ia tak memilih. Asal bisa dimakan dan empuk, sudah cukup. Pada saat-saat yang menyenangkan itu, sesungguhnya orang tidak keberatan mentraktirnya.
Tapi kenikmatan yang paling besar baginya, ialah bila diundang orang kenduri, baik untuk suatu hajat atau pesta kawin. Di saat itu ia memperlihatkan benar betapa kapasitas perutnya. Ia selalu akan memilih tempat duduk di sebelah ujung, tempat orang yang dimuliakan didudukkanm. Biasanya di bagian itu lauk-pauk yang terlezat ditaruhkan. Misalnya kepala kambing, ikan besar atau singgang ayam. Jika tidak ada orang mempersilakannya duduk di sana, ia sendirilah yang berinisiatif. Tak malu-malu ia menyuruh orang bergeser ke tempat lain. Tentu saja dengan gayanya yang bergurau. Sehingga orang tak merasa tersinggung.
Dan kalau ia makan, seluruh piring lauk-pauk di hadapannya bisa licin isinya, selicin habis dijilat kucing. Kalau kebetulan lauk-pauk yang diskai habis, tak malu-malu pula ia minta lauk-pauk di tempat orang lain. Semuanya digayakannya dengan bergurau. Sehingga suasana menjadi meriah.
Akan tetapi apabila kenuri itu sangat sederhana hidangannya, sehingga ia takkan dapat melepaskan selerahnya, diambilnya dua pisang, diremas-remasnya bersama nasi yang telah berkuah gulai, samapi melejit di sela-sela pangkal jarinya. Tentu saja ada orang yang dikejijikan, hingga seleranya patah. Itulah yang dikehendakinya. Maka dapatlah ia makan enak dan memilih lauk-pauk yang disukainya.
Setelah orang tahu betapa besar kemampuan dan nafsuh makannya, lalu orang sebutkanlah namanya jadi Amir Lambung. Lambung artinya perut, seperti perut kapal yang dapat memuat segala macam dalam jumlah yang bukan main banyaknya.
Selain ia mendapat gelar Amir Tahu, Amir Sihat, Amir Lambung atau Amir macam-macam lainnya, ia pun pernah memperoleh gelar Amir Ula. Ula dalam bahasa kampungku artinya ular. Sebagai ular ia dapat membelit sesuatu sebelum dipatoknya. Tanpa menghilangkan arti ular, Amir Ula berasal dari kata ulama yang dihilangkan “ma’nya, karena ia beberapa kali membawakan profesi ulama.
Orang-orang di kampungku pada masa itu ialah orang baik-baik, alim-alim dan taat-taat beribadah. Mesjidnya meski tidak sebesar dan seindah mesjid di kampung lain, akan tetapi selalu ramai dikunjungi orang. Terutama pada sembahyang malam hari, seperti Magrib, Isya dan juga Subuh. Setiap sore hari Selasa, perempuan belajar memahirkan bacaan Quran. Dan setiap sore Kamis belajar ilmu agama, tentang etik, moral dan tentang yang halal dan yang haram, yang sunat dan yang makruh, yang wajib dan yang tidak. Guru-guru untuk pelajaran agama sering kali juga didatangkan dari kampung atau tempat lain yang jauh. Dan selagi guru-guru itu memberikan pelajaran, sebuah kaleng sardencis diedarkan secara beranting. Berdentang-berdenting bunyi uang dijatuhkan ke dalamnya. Uang itu, infak mesjid. Sedangkan orang laki-laki mendapat pelajaran pada waktu malamnya. Dan setiap hari sehabis sembahyang Asyar, anak-anaklah yang meramaikan mesjid itu. Mereka belajar membaca Quran.
Dan setiap penetap baru akan lekas dihormati dan disenangi orang apabila ia sering kelihatan bersembahyang di mesjid. Amir pun melakukannya untuk menarik simpati penduduk kampung. Pada mulanya ia sangat rajin sembahyang berjemaah pada Magrib dan terus tinggal di mesjid sampai waktu Isya. Antara kedua waktu itu, ia bacalah Quran. Alangkah indahnya bacaannya dan merdu suaranya. Orang terpesona mendengarkannya. Sekali-kali ia ikut menyerukan Azan. Semua telinga yang dapat disentuhnya menimbulkan gerinding pada pori mereka yang peka.
Itulah pangkal mulanya ia dipandang sebagai ulama juga. Beberapa kali ia telah menjadi imam pada waktu sembahyang Jumat. Akhirnya ia diminta jadi khatib. Sedangkan kaum perempuan memintanya pula memberikan pelajaran agama pada petang Kamis itu. Dan meski ia orang penetap di kampung kami, dan menjadi amtenar pula, kaum perempuan itu tidak hendak melupakan kewajiban mereka untuk mengedarkan kaleng sardencis itu lebih banyak dari biasanya. Dalam member pelajaran, ia tidak saja mengutip ayat dan hadis dalam bahasa Arab dengan fasih, sering pula ia menyelipkan pepatah dan petitih, serta pantun-pantun. Mengutip pepatah dan petitih serta pantun dalam pengajian sangat dilakukan orang. Namun ketika Amir mengutipnya, hati perempuan yang mendengarnya jadi sangat terpikat padanya. Hati perempuan terpikat itu, tidaklah disalahgunakannya. Ia tak hendak menduai istrinya, katanya, ketika pada suatu ketika ada orang yang meninjau hatinya untuk mengambil seorang janda atau gadis di kampungku.
Pada suatu kali, ia diminta orang lagi menjadi khatib Jumat. Sebagaimana biasa yang dikehendakinya, permintaan haruslah disampaikan secara resmi dengan surat dan dialamatkan ke kantornya. Pada Jumat yang ditentukan tiba, hampir saja ia lupa. Di mesjid orang sudah mulai gelisah menantinya. Seseorang telah pergi ke rumahnya dan menanyakannya. Di simpang ia telah dilihat-lihat kalau sudah muncul dari salah satu jalan. Pekerjaa itu seperti sia-sia saja. Sehingga pengurus mesjid segera saja mencari kata sepakat untuk memilih salah seorang dari yang hadir sebagai khatib. Karena tanpa khotbah, rukun sembahyang Jumat akan kurang. Ketika kata mufakat sudah putus dan orang yang diminta itu telah setuju pula, Amir muncul dengan suara baritonnya mengucapkan salam di pintu mesjid.
Ia langsung ke mimbar yang terletak di mihrab. Sekali ini khatib di kampungku memang istimewa. Bukan karena ia seorang amtenar, melainkan karena khatib yang seorang ini memakai pakaian dinasnya yang berkancing perak dan berinisial letter “W”. Kopiahnya agak sempit kelihatannya. Karena ketika akan naik mimbar salah satu kopiah orang yang hadir di situ dicomotnya saja, sebab menjadi sangat gajil apabila khatib tidak memakai tutup kepala waktu membawakan khotbahnya.
Mula-mula tentu saja ia minta maaf kepada hadirin, karena ia terlambat datang dan tak sempat mengganti pakaiannya di rumah lebih dahulu. Kelambatannya karena ketika ia hendak pulang dari kantornya, ia dibawa Tuanku Demang untuk menghadap tuan Aspiran bersama-sama untuk membicarakan sesuatu masalah penting. Sehingga ia tak sempat mandi dulu dan dengan keringat di badannya ia sudah harus berdiri di mimbar.
Meski badannya berkeringat, khotbahnya lancar dan menarik, hingga tak seorang pun yang bosan mendengarkannya. Pada ujung khotbahnya pandai sekali ia membelokkan persoalan agar kaum muslimin yang hadir ingat pada kewajibannya atas kondisi mesjid mereka. Mula-mulanya ia memandang ke loteng agak lama. Orang menyangka mulanya, bahwa ia telah kehilangan bahan khotbah. Tapi tidak demikian halnya. Ketika segenap mata ikut memandang loteng itu, tangannya menunjuk seraya berkata, “Itu.” Dan segenap mata beralih ke arah sasaran di loteng.
“Itu,” katanya seraya menunjuk ke arah yang lain.
Dan semua mata mengikuti arah telunjuk Amir menunjuk.
“Itu,” kata Amir pula mengalih telunjuknya itu lagi.
Amir menunjuk ke berbagai arah di loteng, di dinding dan di tiang-tiang penyangga. Karena gayanya yang meyakinkan, memaksa seluruh mata menoleh kea rah yang ditunjuknya.
“Semuanya sudah rusak, bobrok, wahai kaum muslimin yang beriman,” katanya setelah ia menunjuk-nunjuk itu. “Akan kita biarkan sajakah rumah TUhan ini tetap rusak, tetap bobrok? Tidak, tidak boleh kita biarkan. Marilah kita perbaiki bersama-sama. Marilah kita buang daki dunia lebih banyak dari biasanya. Agar Tuhan tidak memurkai kita. Agar Tuhan tidak memasukkan kita ke neraka jahanam, wahai kaum muslimin yang beriman. Kita telah diberi-Nya rahmat. Rahmat itu bila tidak kita gunakan untuk jalan Allah, ia akan menjadi daki dunia, akan menjadi laknat. Laknatullah. Agar setiap orang dapat memberikannya dengan secara ikhlas, aku akan berdiri di pintu mesjid ini sehabis sembahnyang menanti keikhlasan kaum muslimin. Dan juga untuk mengetahui, siapa yang bakhil di antara kaum muslimin yang hadir di sini.”
Habis menyampaikan khotbahnya, Amir tidak berdiri pada syaf pertama di belakang imam untuk menunaikan sembahnyang, seperti yang lazim dilakukan oleh khatib-khatib yang lain. Ia pergi ke syaf paling belakang. Dekat pintu. Dan ketika baru saja orang selesai sembahyang, Amir berdiri dan membuka kopiahnya yang sempit. Lalu ditadahkannya pada setiap orang yang hendak keluar. Orang-orang mulai gelisah, karena tidak semuanya punya uang. Mana yang punya tapi tak membawanya, selang-tenggang kepada kawan-kawannya. Sedangkan yang tidak punya uang kecil, telah rubu-rabai menukarkannyaatau meminjami sementara pada orang lain.
Dalam sejarah persedekahan di kampungku, itulah cara yang istimewa dengan hasil yang istimewa pula. Biasanya infak dimasukkan oarng saja pada kotak kaleng yang digembok yang terletak di sudut teras mesjid. Isinya tak pernah mencapai satu rupiah setiap sejumat. Tapi dengan cara Amir memungutnya, setelah dihitung di hadapan pengurus mesjid, hasilnya mencengangkan. Hampir mencapai tiga rupiah. Maklumlah hari itu merupakan Jumat pertama pada bulan tesebut. Akan tetapi ketika ia menyetorkannya pada pengurus mesjid, Amir memotongnya tiga talen (25 sen/talen) sebagai sedekah baginya, katanya. Orang tentu saja tidak bisa bilang apa-apa, selain hanya menyinarkan mata heran dan muka asam.
Jumat itu adalah Jumat yang paling bersejarah di kampungku. Sejarah yang paling tidak menyenangkan, meski pun hasil infak mesjid mencapai rekor yang belum pernah terjadi. Dan hari itu, hari dimulainya suatu pengkajian dan pergunjingan tentang tingkah laku yang serba buruk dilakukan Amir. Sembahyangnya dan kecakapannya tentang ilmu agama itu hanya digunakan untuk mengelabui mata orang banyak. Untuk popularitasnya saja. Lalu orang mengkajinya lebih mendalam. Bahkan ia datang ke rumahnya untuk tidur saja. Kemanakah ia pada waktu-waktu sembahyangnya. Karena ia tidak pernah hadir di mesjid pada sembahyang Lohor dan Asyar. Bahkan pada waktu Magrib serta Isya pun ia jarang kelihatan, selain pada waktu ia mula-mula datang dulu.
“Coba pikir,” kata seseorang, “pada hari Jumat itu ia datang langsung dari kantornya. Setelah menanggalkan sepatunya, ia langsung berkhotbah. Habis berkhotbah langsung sembahyang. Dan siapa yang melihatnya mengambil wuduk dulu. Berkhotbah dan bersembahyang tanpa wuduk tidak syah, bukan?”
“Jelas kesediannya mengajar mengaji agama selama ini, bukan karena Allah. Melainkan karena sedekah,” kata yang lain pula.
“Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan,” yang lain lagi menambahkan.
“Pada hal ia amtenar. Tentu gajinya besar. Tapi kemana saja uangnya?”
“Kalau begitu, ia bukan ulama. Melainkan ula,” kata seorang yang lain lagi.
“Amir Ula dia kalau begitu. Tukang belit,” sseseorang membuat kesimpulan.
Sejak itu ia kehilangan simpati secara total di kampungku. Bila iadatang ke tempat orang sedang berkumpul-kumpul, dengan diam-diam orang pun membubarkan diri. Seorang demi seorang berlalu. Kalau ia ketemu seseorang dan akan diajaknya beromong-omong, mendadak saja orang itu mengatakan bahwa ia ingat pada urusannya yang penting. Itu terjadi di mana saja, di jalan, di lepau kopi simpang tiga, di tempat orang main badminton. Lama sekali baru ia mengerti mengapa orang menghindar darinya. Dan ketika ia sadar bahwa ia telah dikucilkan orang kampungku, ia pun angkat kaki ke kampung lain di kota kami.
Di kampung itu ia membuat sejarah yang sama. Tapi orang kampung itu membalasnya dengan sempurna kontan.
Kejadian itu pada bulan puasa. Ia menampilkan dirinya sebagai imam sembahyang tarawih. Dipilihnya ayat-ayat yang panjang dengan irama yang indah-indah. Di mesjid itu orang membiasakan sembahyang tarawih termasuk witirnya hanyalah sebelas rakaat. Tapi ia melakukannya dua puluh dua rakaat. Entah karena kekenyangan di waktu berbuka puasa atau karena tabligh yang cukup panjang juga hari itu disampaikan buya Haji Makmur, di antara jemaah ada yang tak mampu lagi menahan kantuknya selagi Amir membacakan ayat-ayat sembahyang. Ada orang yang tak mampu melawan kantuknya lagi, persisi di saat sedang rukuk. Sehingga badannya terdoyong ke depan menubruk orang di depannya. Orang yang kena tubruk itu pun tak dapat mengendalikan dirinya pula. Ia menubruk orang yang di depannya lagi. orang yang kena tubruk itu sudah terlalu tua. Sehingga ia terjerembab ketika hendak berdiri sehabis rukuk. Orang pun riuh karena ada yang tak mampu menahan ketawanya. Namun sembahyang diteruskan juga.
“Astaghfirullah, samapi begitu? Tak tahuaku. Betul-betul tak tahu. Begitu khusuknya aku sembahnyang,” kata Amir setelah mendengar apa yang terjadi waktu sembahyang yang diimaminya.
Dan beberapa malam kemudian, ia tampil lahi hendak mengimami sembahyang tarawih. Semua orang, terutama yang tua-tua, sudah gelisah. Takut kalau-kalau tarawih akan kacau balau lagi. dan ia akan melakukan rakaat sampai dua puluh dua kali lagi, hal yang tidak dilakukan jemaah di mesjid itu. Pengurus mesjid serta merta memperingatinya agar memilih ayat yang pendek-pendek saja dan tarawihnya hanya sebelas rakaat sudah cukup seperti yang dilazimkan.
Amir memang memilik ayat yang pendek-pendek saja.akan tetapi rakaat ketujuh, ia memilih ayat yang meski pun cukup pendek, tapi jarang dibaca orang. Sehingga ia salah mengucapkannya. Kesalahannya segera dibetulkan oleh slah seorang ulama dengan mengulainya dengan suara yang keras. Pada rakaat kesepuluh Amir melakukan kesalahan yang sama pada ayat yang lain. Sehingga terpaksa jemaah itu mengulainginya sekali lagi.
Dan setelah selesai rakaat ke sebelas, ulama itu lalu mengucapkan salam dengan suara lebih keras sebagai penutup sembahyang. Namun Amir yang jadi imam, nampaknya hendak mencukupkan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat. Tapi ulama yang telah dua puluh kali mengkoreksi bacaan Amir, tidak hendak meneruskan sembahyangnya. Ia berdiri juga, tapi untuk pergi. Melihat ulama itu pergi, maka jemaah lain, jadi kebingungan. Karena peristiwa itu baru pertama kali terjadi. Namun kepergian ulama tua itu, yang biasa juga menjadi imam di mesjid itu, membawa pengaruh juga. Mulailah ada orang yang meneruskan. Mungkin karena berpendirian, lebih banyak rakaat yang dipakai, lebih baik. Meski yang mereka biasakan hanya sebelas rakaat saja tarawihnya.
Ketika rakaat keempat belas, Amir terus rukuk setelah membaca alfatihah, dan tidak membaca ayat lainnya, orang pun mulai sadar, bahwa imam mereka sudah sesat. Tapi tak ada orang yang hendak memperbaiki kesesatan itu. Lalu keluarlah seorang demi seorang dari mesjid itu. Maka tinggallah imam yang sesat itu seorang diri meneruskan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat. Dan ketika ia selesai memandang ke kiri dank e kanan sambil mengucapkan salam, barulah ia sadar, bahwa mesjid telah kosong. Yang tinggal hanya dia seorang dan para jemaah wanita, karena rasa segannya.
Di luar masjid, orang tua yang pertma-tama meninggalkan mesjid itu berkata pada orang yang merubunginya. “Tidak wajib bagi umat Islam mengikuti imam yangs sesat,” katanya, “Apalagi setelah diperbaiki, masih juga sesat.”
Beberapa orang pergi berlindung di tempat yang gelap untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh imam yang ditinggalkan jemaahnya itu, setelah ia tahu tak seorang pun lagi yang mengikutinya.
Tak seorang pun yang tahu, apa yang dikatakan dan dilakukan Amir ketika tahu bahwa pengikutnya telah meninggalkannya. Apakah ia berteriak-teriak, “Wahai pengikutku, kemana kalian?” seperti yang diteriakkan Raja Richard III yang ditinggalkan kuda setelah terjatuh pada satu peperangan yang menentukan. Tidak seorang pun yang tahu.
Navis, A.A. 1990. Hujan Panas dan Kabut Musim. Padang: DJAMBATAN,.

STRESS bukanlah stress



STRESS bukanlah stress


Hai, sahabat blogger!
Terimakasih sudah bersedia mampir di blog saya J
Kali ini saya akan membicarakan tentang yang disebut STRESS, mungkin ini agak beda dari bacaan lainnya mengenai STRESS. Maka saya beri judul, Stress Bukanlah Stress. Sebab, stress bukanlah hanya sekedar stress, bukanlah suatu semuanya dinilai buruk, bukanlah hal yang merugikan, ataupun bukanlah hal yang menakutkan.

Sahabat blogger, apa sih itu STRESS?
Tegangan? Lonjakan? Hantaran?
atau..
bagaimana sih rasanya stress itu?
Asin? Asam? Pahit? Manis? Enak?
Pasti sahabat blogger sudahtahu dan pernah mengalami atau merasakannya kan?
Di sini saya akan sedikit membahas tentang si STRESS ini. Saya mulai dengan cara untuk mencegah stress, untuk mencegahnya paling utama adalah dengan

BERPIKIR POSITIF (khuznudzan)

Berpikir positih adalah hal wajib dalam mencegah timbulnya stress. Misalnya, anggaplah setiap masalah sebagai tantangan yang akan membuat Anda lebih kuat dan lebih baik dari masa mendatang. Bahkan suatu situasi yang membuat Anda harus melakukan flight response pun memiliki suatu sisi positif yang membawa Anda menyadari bahwa masih Ada sesuatu yang harus Anda kerjakan.
Berikut beberapa tips untuk mengurangi maupun menghilang stress:
1.       Olahraga
2.       Teman (berbagi masalah/cerita)
3.       Asupan makanan
Adapun makanan yang dapat mengurangi maupun menghilang stress, yaitu:
1.       Coklat
2.       Pisang
Stress bagaikan cobaan dalam berpikir dan yang menimbulkan rasa gundah dalam hati. Positifnya, cobaan itu selalu datang dalam mewarnai hidup sehingga hidup terasa sangat berarti dan terasa. Hadapi cobaan tersebut (stress) dengan bijak (terselesaikan) dan keyakinan untuk tetap berusaha. Berikut sedikit pendapat saya tentang konsep mengenai hidup yang juga berkaitan dengan stress.
Hidup adalah ujian.
Hidup adalah berpikir.
Ujian adalah berpikir.
Ujian hidup yaitu hidup itu sendiri. Ujian berpikir yaitu berpikir itu sendiri. Stress hanyalah jembatan untuk dapat terus berpikir yang harus dilewati dalam menjalani hidup. Dan perlu diketahui juga, hidup adalah penuh bermacam-macam jembatan. Jadi, biasakan dengan hal-hal tersebut.
Selain itu, bahwa setiap jalan pasti ada resiko yang harus dilewatinya, meski tidak semua resiko itu terlihat buruk tetapi baik. Dengan adanya resiko membuat hidup menjadi lebih hidup, lebih tenang, dan lebih bahagia. Maka untuk menjalaninya haruslah kita tetap untuk berpikir positif. Dan orang yang berpikir positif selalu:
1.       Melakukan manajemen emosi.
2.       Menyusun tujuan dan perencanaannya.
3.       Berani dan gigih dalam berusaha.
Untuk melakukan praktiknya saya mempunyai tambahan catatan, yakni sebagai berikut.
1.       Buatlah komitmen untuk selalu berpikir positif pada diri senidiri, tulislah pada sehelai kertas dan tempatkan yang mudah terlihat tiap hari.
2.       Kontrol diri, tetap konsisten pada komitmen dan katakana dengan tegas “AKU BISA MELAKUKANNYA” atau “AKU AKAN MENCAPAI TUJUANKU” dengan tambahan rasa percaya diri.
3.       Pikirkan hasil, bukan masalahnya dalam mencapai tujuan. Hal itu akan membangkitkan semangat dalam proses pencapaian.
4.       Banyak tersenyum Ă  maka negative thinking akan berkurang.
5.       Banyak olahraga Ă  maka positive thinking akan bertambah.
6.       Perbanyak teman, tingkatkan kualitas persahabatan dan berkumpullah dengan keluarga Anda. (Perbanyak teman yang memiliki pengaruh positif)
7.       Tingkatkan kualitas ibadah Anda dan hubungan Anda dengan Tuhan.
8.       Buanglah jauh-jauh pikiran tentang kegagalan, kekurangan, dan hal-hal negative lainnya dan terus berusaha.
Jangan sampai menyerah ya. Sebab menyerah adalah kegagalan yang sebenarnya.  Teruslah berpikiran positif. Selain itu, salah satu sikap yang mesti kita miliki guna mengaktifkan gen-gen positif kita adalah BERFOKUS PADA TUJUAN HIDUP. Dengan menyusun tujuan kita dapat menentukan rencana yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran. Jadi, dengan begitu stress bisa kita terima dengan sesuka hati, tanpa rasa beban, dan menjadikan sebuah tantangan bukan sebuah masalah.

Oke. Sudah dulu ya, sahabat blogger. Jika ada kata-kata yang salah atau ngelantur dalam tulisan saya, saya mohon maaf yaa. Kritik dan sarannya saya harapkan untuk memperbaiki dan meningkatkannya. Dan semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Terimakasih.
Sampai jumpa! J                     


Sumber: Buku bacaan masa lalu (sebagai catatan yang berserakan)

Rabu, 05 Desember 2012

TEMAN & SAHABAT



DIA TEMANKU, TAPI APA DIA SAHABATKU?

Teman, itu apa yaa?
Teman itu siapa yaa?
Teman itu bagaimana yaa?
Teman, berteman, pertemanan, ditemanin,…
Menurut kalian apa, sahabat blogger???

Hmmm….
Teman merupakan faktor utama yang akan membuat kita sederajat dengan orang mulia atau bisa juga membuat kita lebih rendah daripada binatang.
Setuju gak, sahabat blogger?
Nih saya punya sedikit mengenai teman setia atau bisa dikatakan sahabat. Mengenai aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam menjadikan seseorang sebagai sahabat yang setia yaitu:

1.       Penampilan
Yang dimaksud dengan penampilan di sini bukanlah penampilan yang terlihat mahal. Namun, aspek ini bukanlah hal yang sangat berpengaruh dan terkadang memang tidak seluruhnya penampilan bisa diindikaskan dia adalah sahabat setia atau tidak. Tetapi omong-omong kalau ingin tampil terlihat mewah, eksklusif, menawan, ataupun apalah yang penting gak norak atau pengen kalem tapi elegan itu GAK harus mahal. Itu juga dilihat dari selera pemilihan penampilan dan pintar-pintarnya kita memilih bahan penampilan yang menarik tapi gak mahal. Soalnya, sering pula yang saya lihat banyak anak yang penampilannya kurang menarik padahal kalo dilihat bandrol harga pakaiannya tidak ada yang di bawah harga 100 ribu. Waduhh bisa-bisa saya tidak makan seminggu untuk ukuran anak kost. Untungnya saya baru bisa beli pakaian setahun sekali, tentunya di hari Lebaran. Hehe. Tapi gak asal langsung dapat juga lhoo, saya dan saudara-saudara saya harus membuat kue-kue Lebaran dulu untuk dijual. Dan lebih-lebihnya saya dapat sumbangan baju dari kakak perempuan saya, yaaa pastinya masih bagus-bagus. Dan jugaa saya sangat primpen banget buat jaga pakaian dan awet sekali. Pakaian saat saya masih berumur delapan tahun aja masih ada dan masih bisa dimodifikasi. Hemm, itulah beberapa tips dari saya tentang penampilan dan pakaian. Kalau kalian bagaimana, sahabat blogger? :D

2  . Cara Berbicara dan Isi Pembicaraan
Gaya bicara merupakan suatu bentuk ekspresi seseorang yang dapat dinilai lingkungan. Gaya berbicara yang apa adanya mencerminkansikap yang tawadhu dan rendah hati. Gaya berbicara yang sok meninggi (bukan nada tinggi) mencerminkan pribadi yang sombong. Saya harapkan kita bisa mudah menilai seseorang dari gaya berbicaranya dan criteria apa saja yang sering atau yang suka dia bicarakan.

3.     Kebiasaan dan Ibadah
Tentunya kita juga harus mempertimbangkan kebiasaan dan ibadahnya karena semua hal tersebut akan berpengaruh kepada kita selama kita berteman dengannya. Bukankah jika kita di sering di dekat tukang minyak wangi kita akan ikut kecipratan wanginya meski sedikit? Dan sebaliknya jika kita di dekat pengepul asap pasti kita juga akan terkena bau asapnya kan? Pastinya kita juga berada di posisi sebagai calon teman sejati atau sahabat setia, maka kita sendiri juga harus memperhatikan aspek ini untuk diri kita.

4.       Cara Berpikir
Dengan memahami cara berpikir seseorang, kita akan mengetahui apa yang akan dia lakukan dan hal ini akan memberikan kkita gambaran yang lebih luas tentang siapa teman kita sebenarnya. Dan kemungkinan-kemungkinan yang dia inginkan dan dia pikirkan bisa kita ketahui.

5.       Keluarganya
Yang dimaksud di sini bukanlah kondisi derajat keluarganya tetapi kondisi moral, pola pikir, atau tingkat ancamannya. Maksudnya, dari keluarganya kita bisa berhubungan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah atau konflik yang tidak wajar. Namun, untuk masalah lainnya (seperti ekonomi)tidak perlu dideskriminasikan. Dan semoga kita mendapatkan teman yang memiliki keluarga yang penuh kasih sayang, bersahaja, mudah berhubungan, dan berwawasan luas dengan lingkungan sekitarnya untuk saling menghormati dan menghargai. Selain itu, jika dilihat dari keluarganya kita juga bisa mengetahui pola pikirnya, karakternya, dan bagaimana dia menjalani sebuah kehidupan.
6.  Temannya
Temannya, maksudnya yaitu bagaimana pergaulan teman kita tersebut. Apakah baik atau buruk kah? Apakah berdampak untuk kita sebagai temannya? Jadi kita harus sangat memperhatikan pergaulan kita agar terhindar dari hal-hal buruk kepada kita atauyang dapat merugikan kita secara moril terutama dan materil yang tidak wajar. Apalagi di kehidupan remaja sekarang, semuanya terlihat campur-baur dan transparan. Maka kita sendiri harus sudah memiliki bentengan dan pedoman dalam menjalani hidup untuk suatu tujuan dan prinsip yang sudah kita buat.


Inti dari semuanya adalah kita harus sering belajar melalui berbagai pengamat-pengamat di berbagai aspek dan lingkungan yang ada agar kita mudah mengenali apa yang di sekitar kita, apa yang terjadi, dan apa yang ingin kita ketahui agar tidak mudah terpengaruh dan tetap berpegang pada prinsip.

Selain di atas, saya punya tips-tips untuk menjaga pertemanan nih, yuk baca :
  1. Kenali teman Anda, bukan hanya sekedar nama dan status.
  2. Berikan perhatian Anda kepada mereka atau teman Anda.
  3. Berikan dukungan dan batuan yang mereka butuhkan (meski bantuan tidak langsung memecahkan masalah mereka tetapi setidaknya berikan keyakinan bahwa mereka dapat meminta bantuan dari Anda kapan saja).
  4. Bersenanglah atau tertawalah saat mereka senang.
  5. Ceritakan tentang diri Anda kepada teman Anda dengan apa adanya (hal ini dapat meningkatkan rasa percaya di antaranya).
  6. Bagi masalah Anda dengan teman-teman Anda (sewajarnya)  dan sebaliknya Anda juga terbuka dengan masalah yang dihadapi teman Anda.
  7. Bagi kesenangan Anda dengan teman-teman Anda (tanpa ada niat pamer atau sombong).

Ohya, sahabat blogger. Ucapan Tolong, Maaf, dan Terimakasih dalam pertemanan sangatlah berperan penting. Misalnya, ucapan Terimakasih sangatlah berharga karena membuat teman Anda akan merasa puas atas penghargaan yang Anda berikan dan adanya saling menghargai.  Jadi, jangan pernah dilupakan dan disepelekan. Apalagi karakter tiap orang itu berbeda-beda, jadi sebarkanlah kedamaian dan kebaikan di antara sesama.
Oke. Sudah dulu ya, sahabat blogger. Jika ada kata-kata yang salah atau ngelantur dalam tulisan saya, saya mohon maaf yaa. Kritik dan sarannya saya harapkan untuk memperbaiki dan meningkatkannya. Dan semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Terimakasih.
Sampai jumpa! :D


#Sumber: ingatan bacaan dan catatan harian :D