Kamis, 26 Februari 2015

Surat Nusantara

Surat Nusantara

Aku harap jika kau kembali, kau masih memakai kepalamu, Mas.  Terserah engkau ingin memakai kepala yang apa. Asal itu bukan kepala yang kau beli dari sana. Aku harap kau tetap memakai kepala yang ada dari rumah kita. Agar aku masih bisa mengenalimu, Mas.
Mas, jika kau masih suka sekali melihat film Thor di bioskop. Di rumah, aku bisa membaca komik tentang Bima milik anak kita, Jawa. Jika Thor menggunakan palu besar dari besi, Bima menggunakan palu besarnya dari kuningan yang keemas-emasan. Dia sebut, bargawa. Tapi kau tahu, Mas? Kisah Bima itu ada sebelum rumah kita berdiri. Aku menelik, jangan-jangan film itu terinspirasi dari rumah kita sendiri. Tapi mungkin, kau sudah lupa, Mas. Tapi kau masih ingat Gatot Kaca kan, Mas? Dia lebih hebat dari kisah dari tokoh Superman. Aku harap juga kau tidak hanya ingat film Funtastic Four. Kau tahu? Anak kita, yang bernama Jawa, memiliki itu semua. Bayangkan, Mas. Kita sungguh luar biasa. Kau tidak perlu malu memakai kepalamu.
Bantimurung, dia adalah sebuah kerajaan bagi yang bersayap-sayap elok. Kau masih ingat, Mas? Dia bukan tempat imajinasi atau dreamland. Kang Mas bisa sebut dia Kerajaan Kupu-kupu. Dia memiliki turunan batu yang besar yang landai, membuat air tidak mengalir dengan deras. Air turun dengan manis seperti aliran air yang merembes pelan turun ke bawah. Itu adalah milik anak kita, Mas. Makassar. Aku berharap kau tidak mudah terlena dengan Negeri Samba. Karena Makassar lebih mempunyai banyak keajaibaan.
Mungkin usia kita sudah sangat tua. Tapi aku juga turut sedih, Mas. Kita terkadang juga sama-sama belum mengenal anak cucu kita sendiri. Kita abai, terlena, cemburu, dan tergoda dengan rumah tetangga. Aku harap masih ada waktu banyak untuk kita, bersama mereka semua.
Film Journey 2, itu yang pernah kau sebut-sebut dalam impianmu. Engkau ingin menemukan tempat-tempat seperti itu. Tapi aku menyerah, Mas, ketika kau tak percaya bahwa kita mempunyainya. Kau tahu Suwarnadwipa? Dia milik anak kita juga, Andalas Sumatera. Sesungguhnya engkau tak perlu jauh-jauh mencari pulau emas, karna Suwarnadwipa adalah tanah emas, Swarnnabhumi.
Masih milik Sumatera, anak kita yang kita banggakan. Taman Alam Lumbini, Replika Pagoda Shwa Degon. Kita tak perlu berlayar ke Yangon, Myanmar.  Juga tak perlu kau terbang ke Inggris, kita punya Jam Gadang yang antik milik Bukittinggi. Kau tahu, Mas? Lagi-lagi tetangga lain terinspirasi dari keluarga kita sendiri. Hmm, Mas. Apa kau senang?
Mas, aku ingin sekali ke tempat Mongondow, melihat air terjun Mengkang yang indah dan sejuk. Di sana tak hanya satu, tetapi lima air terjun bisa kita dapati darinya. Aku juga ingin memancing ikan, ikan Sogili di Moat. Tanahnya yang timbul di tengah air. Namun, tiba-tiba aku kecewa ketika mendapat kabar engkau lebih asyik bermain dengan Niagara. Padahal perlu kau tahu, kita mempunyai Curug Malela milik Bandung. Cobalah kau kunjungi dia, engkau akan seperti bermain dengan Niagara. Memang dia sedikit tersembunyi dan belum terjamah sehingga maklum saja engkau belum tahu.
Ohya, ketika aku bertemu Kalimantan, aku dikenalkan ke Kerajaan Negeri Perak. Wauw, menakjubkan. Di sana, aku juga bisa melihat penetasan bayi-bayi penyu yang mampu menggelitikku. Mas, aku juga sebut dia Pantai Pasir Panjang karena dia sungguh memiliki tepi yang panjang. Tak diragukan kehebatannya akan pesonanya. Sudahlah, Mas, ini tak kalah eloknya dengan tetangga lain.
Aku tahu, kenapa kau pergi ke rumah bunga sakura. Kau suka sekali dengan sushi mereka. Tapi, Mas, tersenyumlah lagi dengan Jawa. Dia hebat sekali membuat lemper, makanan yang juga aku sukai. Kau masih ingat rasanya?
Internasional, rumah kita sudah termasuk. Anak-anak kita sudah mampu menghasilkan karyanya hingga digemari banyak tetangga. Misalkan, mutiara-mutiara milik Lampung, Bali, Nusa, Sulawesi, Gorontalo, Maluku, dan Papua. Mutiara-mutiara mereka mempunyai warna yang mempesona dan kilaunya yang abadi sepanjang masa. Bila kau sudah tahu, lantas kenapa engkau tetap pergi menemui Lao-Tze Pearl yang tak berbentuk itu? Dan mutiara yang mereka sebut the little willie, milik Britania. Padahal mutiara berbagai ukuran dapat kita temukan di rumah kita sendiri, Mas.
Mas, jika kita mengingat Bandung, seharusnya dia tak usah kita sebut Paris van Java, karna sebenarnya dialah yang melahirkan kesuksesan butik-butik di Paris. Jika kau juga terus berlayar ke Eropa, mungkin kau akan mengagumi Kerajaan Inggris. Tapi, Mas, ingat. Kita juga mempunyai kerajaan di rumah, lebih berkarakter dan elegan, sepakat kita namai dia Yogyakarta.
Pernah aku melihatmu fotomu di suatu tempat, sepertinya itu bukan di rumah kita. Tapi aku merasa aku juga pernah ke sana. Setelah aku pikir-pikir, itu bukan di tempat kita, aku tahu setelah engkau bergaya tari hula-hula. Oh Kang Mas, aku kira engkau memakai pakaian buatan Bali. Ternyata tidak. Aku kira engkau mengunjungi Bali, ternyata engkau lebih mengunjungi anak tetangga. Oh, Kang Mas.
Jika kau lebih tergoda dengan palung-palung rumah lain. Aku lebih menyintai anak kita sendiri, Mas. Raja Ampat dan Pulau Irian. Sungguh tak ingin aku meninggalkannya meski sedetik. Jika kau juga terpesona dengan padang-padang rumput milik negeri kangguru, aku masih ingin berdiam merasakan kesejukan bersama padang-padang Sumbawa.
Aku heran ke sekian kalinya, berani-beraninya ada yang mengaku sebagai Bapak Air, lalu membuatmu tergoda karena dia memiliki banyak anak sungai. Mas, aku tidak tahu harus dengan cara apalagi agar engkau tahu dan ingat. Bukankah rumah kita adalah juga kerajaan air pada lautan dan sungai? Tak hanya air, tetapi pulau, danau, dan gunung. Bila kau ingin melihat kerajaan sungai di rumah kita, kau bisa menjenguk Banjarmasin. Dia adalah pemilik seribu sungai, bukan anak sungai.
Jika kau dengar ada yang bernama Samudera Atlantik, apa kau benar-benar akan ke sana? Hanya karena ada kata ‘Atlantik’ atau tetangga-tetangga lain mengira itu adalah tempat Atlantik yang hilang? Mas, apa kau tidak ada niatan untuk menelik dia di rumah kita? Mungkin saja, jangan-jangan Atlantik bersembunyi di rumah kita. Aku berharap engkau tidak mudah tertipu.
Banyak sekali cerita yang ingin aku sampaikan dalam surat ini, Mas. Meski tulisan ini pendek, semoga mampu membuka ingatan-ingatan yang mempunyai cerita-cerita panjang antara aku dan anak-anakmu. Bagai gunungan es, mungkin ini hanya sepucuk permukaannya daripada apa yang tenggelam dalam perairannya. Aku harap kau bisa membuka mata untuk rumah kita kembali. Mencintai kembali dan menjaga serta berusaha melestarikan. Pulanglah, tanpa memakai kepala tetangga lain.
Mas, aku ingin ingatkan juga, bahwa anak kita sudah banyak. Cucu kita juga memiliki anak. Rumah kita juga sangat besar, besar sekali. Aku harap Kang Mas tetap setia pada istrimu ini, Nusantara. Dan tetap mengakui anak-anakmu ini. Boleh saja engkau menengok tetangga lain, asalkan engkau tetap tahu di mana rumahmu. Rumahmu sangat indah, banyak warna, dan cerita yang tak tetangga lain miliki. Bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk terus bersyukur? Dan merawat apa yang ada di tangan kita.
Mas, anak-anakmu ini sudah rindu akan kehadiranmu kembali. Cepatlah pulang, aku ingin kita bersama lagi. Kau tahu Mas, mungkin engkau di sana akan terlena akan rayuan-rayuan penjual kepala. Tapi ingat, Mas, kita harus tetap membenahi dindin-dinding rumah kita yang retak, atap kita yang bocor, ruangan-ruangan yang kusam, dan lantai-lantai yang kasar. Aku ingin juga, kita saling terus bisa mengisi hari-hari bersama, bercanda, bekerja sama, dan saling menyayangi meski kita ada beda.

Mas, jika engkau pulang terlanjur tanpa kepala. Bersediakah engkau tetap menyematkan namaku dalam hatimu?
Salam rindu,

Nusantara.


*Maret 2014/Dibacakan saat Diklat Alam DJPKMTD XXXIII/UKMP