Surat Nusantara
Aku harap jika kau
kembali, kau masih memakai kepalamu, Mas. Terserah engkau ingin memakai kepala yang apa.
Asal itu bukan kepala yang kau beli dari sana. Aku harap kau tetap memakai
kepala yang ada dari rumah kita. Agar aku masih bisa mengenalimu, Mas.
Mas, jika kau masih suka
sekali melihat film Thor di bioskop.
Di rumah, aku bisa membaca komik tentang Bima milik anak kita, Jawa. Jika Thor
menggunakan palu besar dari besi, Bima menggunakan palu besarnya dari kuningan
yang keemas-emasan. Dia sebut, bargawa. Tapi kau tahu, Mas? Kisah Bima itu ada
sebelum rumah kita berdiri. Aku menelik, jangan-jangan film itu terinspirasi
dari rumah kita sendiri. Tapi mungkin, kau sudah lupa, Mas. Tapi kau masih
ingat Gatot Kaca kan, Mas? Dia lebih hebat dari kisah dari tokoh Superman. Aku harap juga kau tidak hanya
ingat film Funtastic Four. Kau tahu?
Anak kita, yang bernama Jawa, memiliki itu semua. Bayangkan, Mas. Kita sungguh
luar biasa. Kau tidak perlu malu memakai kepalamu.
Bantimurung, dia adalah
sebuah kerajaan bagi yang bersayap-sayap elok. Kau masih ingat, Mas? Dia bukan
tempat imajinasi atau dreamland. Kang
Mas bisa sebut dia Kerajaan Kupu-kupu. Dia memiliki turunan batu yang besar
yang landai, membuat air tidak mengalir dengan deras. Air turun dengan manis
seperti aliran air yang merembes pelan turun ke bawah. Itu adalah milik anak
kita, Mas. Makassar. Aku berharap kau tidak mudah terlena dengan Negeri Samba.
Karena Makassar lebih mempunyai banyak keajaibaan.
Mungkin usia kita sudah
sangat tua. Tapi aku juga turut sedih, Mas. Kita terkadang juga sama-sama belum
mengenal anak cucu kita sendiri. Kita abai, terlena, cemburu, dan tergoda
dengan rumah tetangga. Aku harap masih ada waktu banyak untuk kita, bersama
mereka semua.
Film Journey 2, itu yang pernah kau
sebut-sebut dalam impianmu. Engkau ingin menemukan tempat-tempat seperti itu.
Tapi aku menyerah, Mas, ketika kau tak percaya bahwa kita mempunyainya. Kau
tahu Suwarnadwipa? Dia milik anak kita juga, Andalas Sumatera. Sesungguhnya
engkau tak perlu jauh-jauh mencari pulau emas, karna Suwarnadwipa adalah tanah
emas, Swarnnabhumi.
Masih milik Sumatera,
anak kita yang kita banggakan. Taman Alam Lumbini, Replika Pagoda Shwa Degon. Kita
tak perlu berlayar ke Yangon, Myanmar.
Juga tak perlu kau terbang ke Inggris, kita punya Jam Gadang yang antik
milik Bukittinggi. Kau tahu, Mas? Lagi-lagi tetangga lain terinspirasi dari
keluarga kita sendiri. Hmm, Mas. Apa kau senang?
Mas, aku ingin sekali
ke tempat Mongondow, melihat air terjun Mengkang yang indah dan sejuk. Di sana
tak hanya satu, tetapi lima air terjun bisa kita dapati darinya. Aku juga ingin
memancing ikan, ikan Sogili di Moat. Tanahnya yang timbul di tengah air. Namun,
tiba-tiba aku kecewa ketika mendapat kabar engkau lebih asyik bermain dengan
Niagara. Padahal perlu kau tahu, kita mempunyai Curug Malela milik Bandung.
Cobalah kau kunjungi dia, engkau akan seperti bermain dengan Niagara. Memang
dia sedikit tersembunyi dan belum terjamah sehingga maklum saja engkau belum
tahu.
Ohya, ketika aku
bertemu Kalimantan, aku dikenalkan ke Kerajaan Negeri Perak. Wauw, menakjubkan.
Di sana, aku juga bisa melihat penetasan bayi-bayi penyu yang mampu menggelitikku.
Mas, aku juga sebut dia Pantai Pasir Panjang karena dia sungguh memiliki tepi
yang panjang. Tak diragukan kehebatannya akan pesonanya. Sudahlah, Mas, ini tak
kalah eloknya dengan tetangga lain.
Aku tahu, kenapa kau
pergi ke rumah bunga sakura. Kau suka sekali dengan sushi mereka. Tapi, Mas, tersenyumlah lagi dengan Jawa. Dia hebat
sekali membuat lemper, makanan yang
juga aku sukai. Kau masih ingat rasanya?
Internasional, rumah
kita sudah termasuk. Anak-anak kita sudah mampu menghasilkan karyanya hingga
digemari banyak tetangga. Misalkan, mutiara-mutiara milik Lampung, Bali, Nusa,
Sulawesi, Gorontalo, Maluku, dan Papua. Mutiara-mutiara mereka mempunyai warna
yang mempesona dan kilaunya yang abadi sepanjang masa. Bila kau sudah tahu,
lantas kenapa engkau tetap pergi menemui Lao-Tze
Pearl yang tak berbentuk itu? Dan mutiara yang mereka sebut the little willie, milik Britania.
Padahal mutiara berbagai ukuran dapat kita temukan di rumah kita sendiri, Mas.
Mas, jika kita
mengingat Bandung, seharusnya dia tak usah kita sebut Paris van Java, karna sebenarnya dialah yang melahirkan kesuksesan
butik-butik di Paris. Jika kau juga terus berlayar ke Eropa, mungkin kau akan
mengagumi Kerajaan Inggris. Tapi, Mas, ingat. Kita juga mempunyai kerajaan di
rumah, lebih berkarakter dan elegan, sepakat kita namai dia Yogyakarta.
Pernah aku melihatmu
fotomu di suatu tempat, sepertinya itu bukan di rumah kita. Tapi aku merasa aku
juga pernah ke sana. Setelah aku pikir-pikir, itu bukan di tempat kita, aku
tahu setelah engkau bergaya tari hula-hula. Oh Kang Mas, aku kira engkau
memakai pakaian buatan Bali. Ternyata tidak. Aku kira engkau mengunjungi Bali,
ternyata engkau lebih mengunjungi anak tetangga. Oh, Kang Mas.
Jika kau lebih tergoda
dengan palung-palung rumah lain. Aku lebih menyintai anak kita sendiri, Mas.
Raja Ampat dan Pulau Irian. Sungguh tak ingin aku meninggalkannya meski
sedetik. Jika kau juga terpesona dengan padang-padang rumput milik negeri
kangguru, aku masih ingin berdiam merasakan kesejukan bersama padang-padang
Sumbawa.
Aku heran ke sekian kalinya,
berani-beraninya ada yang mengaku sebagai Bapak Air, lalu membuatmu tergoda
karena dia memiliki banyak anak sungai. Mas, aku tidak tahu harus dengan cara
apalagi agar engkau tahu dan ingat. Bukankah rumah kita adalah juga kerajaan
air pada lautan dan sungai? Tak hanya air, tetapi pulau, danau, dan gunung.
Bila kau ingin melihat kerajaan sungai di rumah kita, kau bisa menjenguk
Banjarmasin. Dia adalah pemilik seribu sungai, bukan anak sungai.
Jika kau dengar ada
yang bernama Samudera Atlantik, apa kau benar-benar akan ke sana? Hanya karena
ada kata ‘Atlantik’ atau tetangga-tetangga lain mengira itu adalah tempat
Atlantik yang hilang? Mas, apa kau tidak ada niatan untuk menelik dia di rumah
kita? Mungkin saja, jangan-jangan Atlantik bersembunyi di rumah kita. Aku
berharap engkau tidak mudah tertipu.
Banyak sekali cerita
yang ingin aku sampaikan dalam surat ini, Mas. Meski tulisan ini pendek, semoga
mampu membuka ingatan-ingatan yang mempunyai cerita-cerita panjang antara aku
dan anak-anakmu. Bagai gunungan es, mungkin ini hanya sepucuk permukaannya
daripada apa yang tenggelam dalam perairannya. Aku harap kau bisa membuka mata
untuk rumah kita kembali. Mencintai kembali dan menjaga serta berusaha
melestarikan. Pulanglah, tanpa memakai kepala tetangga lain.
Mas, aku ingin ingatkan
juga, bahwa anak kita sudah banyak. Cucu kita juga memiliki anak. Rumah kita
juga sangat besar, besar sekali. Aku harap Kang Mas tetap setia pada istrimu
ini, Nusantara. Dan tetap mengakui anak-anakmu ini. Boleh saja engkau menengok
tetangga lain, asalkan engkau tetap tahu di mana rumahmu. Rumahmu sangat indah,
banyak warna, dan cerita yang tak tetangga lain miliki. Bukankah Tuhan
mengajarkan kita untuk terus bersyukur? Dan merawat apa yang ada di tangan
kita.
Mas, anak-anakmu ini
sudah rindu akan kehadiranmu kembali. Cepatlah pulang, aku ingin kita bersama
lagi. Kau tahu Mas, mungkin engkau di sana akan terlena akan rayuan-rayuan
penjual kepala. Tapi ingat, Mas, kita harus tetap membenahi dindin-dinding
rumah kita yang retak, atap kita yang bocor, ruangan-ruangan yang kusam, dan
lantai-lantai yang kasar. Aku ingin juga, kita saling terus bisa mengisi
hari-hari bersama, bercanda, bekerja sama, dan saling menyayangi meski kita ada
beda.
Mas, jika engkau pulang
terlanjur tanpa kepala. Bersediakah engkau tetap menyematkan namaku dalam
hatimu?
Salam rindu,
Salam rindu,
Nusantara.
*Maret 2014/Dibacakan saat Diklat Alam DJPKMTD XXXIII/UKMP